Suku
bangsa Rejang yang dewasa ini bertebaran tentunya mempunyai asal usul
mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa
karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa
asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini
terbukti dari hal-hal berikut :
- John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).
- J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.
- Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.
Pada
mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup
mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil
Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden
(berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut
dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat
mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang
tersedia.
Barulah
pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di
sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah
mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam
mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya.
Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.
Dalam
zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi
atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo.
Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan
merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan
kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai.
Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat
tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan
praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut
kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya
dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya
kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad
atau strata.
Sungguhpun
demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh
masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari
masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:
- Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
- Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
- Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
- Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.
Pada
masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang
Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau
Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari
beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan
Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak
semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini
merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan
pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan
dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial
dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.
Melalui
strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha
untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu
golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah
tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti
bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta
atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka
hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja
mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah
Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta
pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian
dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan
penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.
- Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
- Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
- Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
- Biku Bermano menggantikan Ajai Malang
Setelah
dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang
makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam,
berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka
semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).
Setelah
keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat
sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang
masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah
penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan
jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang
menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang
bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di
tengah hutan.
Untuk
mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu
bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya
dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang
terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala
penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan
pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang
pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon
tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin
bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari
Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk
menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi
pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan
terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh
yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh
setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.
“Riwayat
saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga
rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk
putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa
Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.
Setelah
diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka
bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat
meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat
mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang.
Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak
(bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu
dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang
gadis muda/remaja.
Setelah
itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat
oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya
ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh
pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka
menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu.
Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap
untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar
itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh
gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.
- “Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
- Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
- Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.
- Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
- Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk.
Maka
sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang
Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.
Kesepakatan
yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua
rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka
berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai.
Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang
berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung,
kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo
Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad
ke-15.
Baru
setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya
bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat
pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka
anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru
atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey
ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau
Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai
Tubey di Luar wilayah Lebong.
Petulai
Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya
bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang
mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang
merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing
include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa
yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang
berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan
wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.
Sistem Kelembagaan Komunal/Adat
Dari
resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa
Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang,
Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De
Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut
juga dengan sebutan Mego.
Hal
ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di
Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.
Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami,
sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan
syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang
patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya
mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Pada
zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat
berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri,
sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat
tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan
bersifat kekeluargaan.
Pada
Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini
oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian
mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang
dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah. (team
AMARTA: Salim Senawar, Erwin S Basrin, Madian Sapani, Henderi S Basrin,
Sugianto Bahanan, Hadiyanto Kamal, Riza Omami, Bambang Yuroto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar