SALAH satu guru pengirim Lomba
Cerita Silat Bengkulu yang diadakan Harian Rakyat Bengkulu adalah Ardesi
Yulianita, M.Pd, guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Curup Timur. Sejak SD,
Ardesi memagn sudah gemar menulis.
Dia mengikuti jejak sang kakek yang
gemar mendongengkan sejarah daerah, khususnya wilayah RL, Kepahiang dan
Lebong. Melalui cerita berjudul ‘’Perkawinan Putri Serindang Bulan’’ dia
ingin mengangkat nama daerah, khususnya tokoh-tokoh kerajaan suku
Rejang.
Dalam cerita silat itu, Ardesi
mengisahkan perjodohan Putri Serindang Bulan, anak dari Raja Mawang dari
Kerajaan Kuteu Belau Sateun yang selalu kandas akibat penyakit aneh
yang dideritanya. Setiap kali ada raja atau pangeran yang meminangnya,
Putri Serindang Bulan mendadak sakit. Terus terulang hingga belasan raja
yang membatalkan lamaran.
Karena malu, 6 saudara laki-laki Putri
Serindang Bulan sepakat membunuh putri berparas elok nan rupawan itu.
Tugas diserahkan kepada saudara ke 6, yakni Ki Karang Neo. Namun Ki
Karang Neo tak sampai hati membunuh adiknya. Sehingga ia menghanyutkan
Putri Serindang Bulan ke Sungai Ketahun (Uleu Deus) di wilayah Lebong.
Karena dimodali sebuah rakit bambu, akhirnya Putri Serindang Bulan
terdampar di perairan Tepat Masat, Muara Ketahun, Bengkulu Utara yang
saat itu dalam kekuasaan Kerajaan Indra Pura yang berpusat di Jambi.
Mendapati seorang putri cantik
terperangkap di sungai, Tuanku Raja Alam, Raja Kerajaan Indra Pura
terpikat. Singkat cerita keduanya sama-sama tertarik sehingga keduanya
menikah. Namun Putri Serindang Bulan sempat mengalami ketakutan luar
biasa khawatir kembali sakit saat dipinang Tuanku Raja Alam. Namun
keajaiban datang, saat mendapat pinangan Tuanku Raja Alam, kondisi Putri
Serindang Bulan tetap sehat.
Setelah menikah dengan pesta
besar-besaran, akhirnya Putri Serindang Bulan menetap di Kerajaan Indra
Pura. Meski sebagian masyarakat Kerajaan Kuteu Belau Sateun benci kepada
Putri Serindang Bulan akibat penyakit anehnya yang selalu gagal
menikah, Putri Serindang Bulan tetap cinta akan tanah kelahirannya.
Bahkan beberapa kali ia sempat mengunjungi tanah kelahirannya itu.
Kisah yang menarik perhatian Ardesi,
perpisahan antara Putri Serindang Bulan dengan Ki Karang Neo saat ia
dihanyutkan ke Sungai Ketahun. Disana tampak jiwa besar seorang kakak
yang tidak tega membunuh adiknya. Selanjutnya perpisahan Ki Karang Neo
dengan Ki Geto, kakak pertama Putri Serindang Bulan yang sempat merantau
karena katahuan saudaranya yang lain sekongkol tidak membunuh Putri
Serindang Bulan.
Ki Geto memilih merantau menetap di
Bermani Ilir Kepahiang dan sempat membuat Petulai Migai (Merigi) hingga
menyebarkan anak-cucunya. Hingga akhir hayat, Ki Geto tidak pernah
pulang ke Kerajaan Kuteu Belau Sateun. Ki Geto tidak ingin terjadi
pertumpahan darah dengan saudaranya yang lain. Sedangkan Ki Karang Neo
yang sempat merantau bersama Ki Geto memilih kembali ke tanah
kelahirannya dan menjadi raja menggantikan ayahandanya.
‘’Dari kisah itu sangat banyak hikmah
yang bisa dipetik. Seorang kesatria seperti Ki Geto memilih merantau
demi keselamatan keluarganya. Begitu juga dengan Ki Karang Neo yang
sangat cinta dengan tanah kelahirannya sehingga memilih pulang. Walaupun
nyawa taruhannya. Setidaknya kisah ini bisa diilhami generasi muda
Bengkulu, khususnya suku Rejang. Bahwa daerah kita juga kaya akan
sejarah,’’ ungkap Ardesi. (sca)
Dicuplik dari : Rakyat Bengkulu
Dicuplik dari : Rakyat Bengkulu